REVIEW JURNAL ILMIAH
TENTANG GOOD CORPORATE GOVERNANCE DAN KINERJANYA
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Masalah
Good corporate governance secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk
semua stakeholder. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama,
pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat)
dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan
pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparans terhadap
semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder (YPPMI &
SC, 2002). Atau secara singkat, ada empat komponen utama yang diperlukan dalam
konsep GCG ini, yaitu fairness, transparancy, accountability, dan
responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip GCG
secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan (Beasly
et al., 1996). Chtourou et al. (2001) juga mencatat prinsip GCG yang diterapkan
dengan konsisten dapat menjadi penghambat (constrain) aktivitas rekayasa
kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai
fundamental perusahaan.
Rekayasa kinerja yang dikenal dengan istilah earnings management ini sejalan
dengan teori agensi (agency theory) yang menekankan pentingnya pemilik
perusahaan (principles) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada profesional
(agents) yang lebih mengerti dan memahami cara untuk menjalankan suatu usaha
(YPPMI & SC, 2002). Namun pemisahaan ini mempunyai sisi negatif,
keleluasaan manajemen untuk memaksimalkan laba akan mengarah pada proses
memaksimalkan kepentingan manajemen sendiri dengan biaya yang harus ditanggung
pemilik perusahaan. Kondisi ini terjadi karena asimetri informasi (information
asymmetry) antara manajemen dan pihak lain yang tidak mempunyai sumber dan
akses yang memadai untuk memperoleh informasi yang digunakan untuk memonitor
tindakan manajemen (Richardson, 1998; DuCharme et al., 2000). Rekayasa ini
merupakan upaya manajemen untuk mengubah laporan keuangan dengan tujuan untuk
menyesatkan pemegang saham yang ingin mengetahui kinerja ekonomi perusahaan
atau untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka
akuntansi yang dilaporkannya (Healy & Wahlen, 1998; DuCharme et al., 2000).
Sehingga secara prinsipil manipulasi ini tidak sejalan dengan semangat
GCG.
Indonesia mulai menerapkan prinsip GCG sejak menandatangani letter of intent
(LOI) dengan IMF, yang salah satu bagian pentingnya adalah pencatuman jadwal perbaikan
pengelolaan perusahaan-perusahaan di Indonesia (YPPMI & SC, 2002). Sejalan
dengan hal tersebut, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG)
berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab
untuk menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional.
Namun, walau menyadari pentingnya GCG, banyak pihak yang melaporkan masih
rendahnya perusahaan yang menerapkan prinsip tersebut. Masih banyak perusahaan
menerapkan prinsip GCG karena dorongan regulasi dan menghindari sanksi yang ada
dibandingkan yang menganggap prinsip tersebut sebagai bagian dari kultur
perusahaan. Selain itu, kewajiban penerapan prinsip GCG seharusnya mempunyai
pengaruh yang positif terhadap kualitas laporan keuangan yang dipublikasikan.
Maka atas dasar uraian tersebut dan sejalan dengan penelitian Chtourou et al.
(2001), penelitian ini ingin menguji apakah penerapan prinsip GCG mempunyai
pengaruh positif terhadap kualitas laporan keuangan yang diukur dari
keberhasilan ditekannya upaya rekayasa yang dilakukan manajemen.
B. VARIABEL PENELITIAN DAN UKURANNYA
1. Sampel dan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa laporan
keuangan (annual report) tahun 1995-2000 perusahaan yang listed di Bursa Efek Jakarta
(BEJ). Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah multiple purposive
sampling.
TABEL 1
Sampel Penelitian
Identifikasi Perusahaan Jumlah
Perusahaan yang masuk dalam daftar CGPI 52
Perusahaan lembaga keuangan (9)
Data laporan keuangan tidak lengkap (19)
Jumlah Sampel 24
Sumber: data sekunder diolah, 2002.
2. Pengukuran Variabel
Penelitian ini menggunakan discretionary accruals sebagai proksi rekayasa
keuangan yang dilakukan manajemen. Discretionary accruals merupakan selisih
antara total accruals dan nondiscretionary accruals. Sedangkan total accruals
merupakan selisih antara net income dan cash flow from operations. Total akrual
dipecah menjadi komponen discretionary accruals dan nondiscretionary accruals
dengan menggunakan modified Jones model (Dechow et al.,1995). Model ini dipakai
karena paling baik dalam mendeteksi rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen
dan memberikan hasil paling robust (Guay et al., 1996; Teoh et al., 1997;
Rajgopal et al., 1999).
AC = Net income - Cash flows from operations
Current accruals (CA) didefinisikan sebagai perubahan dalam noncassh current
assets dikurangi perubahan dalam operating current liabilities atau dihitung
sebagai berikut:
CA = D(current assets-cash) - D(current liabilities-current maturity of
long-term debt)
Nondiscretionary accruals (NDA) merupakan accruals yang diekspektasi dengan
menggunakan modified Jones model. Expected current accruals sebuah perusahaan
ditahun tertentu diestimasi dengan menggunakan cross-sectional ordinary least
squere (OLS) regression terhadap current accruals dan perubahan
penjualan.
Nondiscretionaty accruals (NDA) dihitung sebagai berikut:
Dimana: = Estimated intercept untuk perusahaan i pada tahun t = Slope untuk
perusahaan i pada tahun t
TAI,t-1 = Total assets pada periode t-1
DSales = Perubahan penjualan
DTR = Perubahan dalam piutang dagang
Discretionary current accruals (DCA) untuk sebuah perusahaan pada tahun
tertentu dihitung sebagai berikut:
Untuk menghitung discretionary dan nondiscretionary long-term accruals (DLTA
dan NDLTA) , harus menghitung discretionary dan nondiscretionary total accruals
(DTA dan NDTA). Discretionary total accruals (NDTA) sebuah perusahaan ditahun
tertentu dihitung meregresi total accruals (AC) sebagai dependen variabel dan gross
property, plant, and equipment (PPE) sebagai additional explanatory
variable.
Nondiscretionary total accruals (NDTA) dihitung sebagai berikut:
Dimana: = Estimated intercept perusahaan i pada tahun t = Slope untuk
perusahaan i pada tahun t
PPE = Gross property, plant, and equipment
TAI,t-1 = Total assets pada periode t-1
3. Metode Analisis
Analisis Deskripstif. Untuk mengestimasi nilai NDTAC dan NDCA dilakukan regresi
terhadap nilai perubahan penjualan (change in sales), perubahan piutang dagang,
dan gross property, plant, and equipment (PPE) sebagai variabel independennya.
Dari nondiscretionary accruals tersebut dihitung discretionary accruals.
Uji Beda. Uji beda dilakukan terhadap nilai discretionary accruals sebelum dan
sesudah diterapkannya prinsip-pinsip GCG untuk mengetahui tingkat penurunan
rekayasa yang dilakukan manajemen. Untuk cut off waktu penerapan prinsip GCG
digunakan tulisan dalam buku "The Essence of Good Corporate
Governance" yang menyebutkan prinsip tersebut diterapkan di Indonesia
sejak ditandatanganinya LOI antara Indonesia dan IMF, yaitu tahun 1998 (YPPMI
& Sinergy Communication, 2002: 173). Sehingga periodesasi penerapan prinsip
GCG dilakukan sebagai berikut:
1. Tahun 1996-1997 merupakan periode sebelum diterapkannya prinsip GCG.
2. Tahun 1998 dipakai sebagai cut off periode penerapan prinsip GCG.
3. Tahun 1999-2000 merupakan periode kewajiban penerapan prinsip GCG.
4. Hasil
Dengan menggunakan modified Jones model untuk memisahkan total accruals menjadi
discretionary accruals dan nondiscretionary accruals. Penelitian menggunakan
discretionary accruals perusahaan sampel selama lima tahun, yaitu tahun 1996
(t-2) dan 1997 (t-1) sebagai periode sebelum diterapkannya prinsip-prinsip GCG,
tahun 1998 (t) sebagai tahun munculnya kewajiban penerapan prinsip GCG, serta
1999 (t+1) dan 2000 (t+2) sebagai periode kewajiban penerapan prinsip GCG.
Hasil penghitungan discretionary accruals ditunjukkan di Tabel 2.
TABEL 2
Discretionary Accrual Selama Periode Pengamatan
t-2 t-1 t t+1 t+2
Mean -25009.92 -222806.60 -376456.40 -310024.20 -331029.60
Median -11836.00 -63629.00 -414736.00 -144192.50 -166891.00
Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Tabel 3 menunjukkan nilai mean dan median discretionary accruals selama periode
bernilai negatif. Hal ini merupakan indikasi bahwa rekayasa yang dilakukan
manajemen bersifat income decreasing. Kondisi ini terjadi karena kemungkinan
besar manajemen bersikap konservatif dalam melaporkan kinerjanya, yaitu dengan
mengakui biaya masa depan (future cost) menjadi biaya sekarang (current cost)
yang mengakibatkan kinerja lebih rendah dari kinerja fundamentalnya. Tabel 3
juga menunjukkan bahwa nilai discretionary accruals tahun 1996 (t-2) dan 1997
(t-1) (-25009.92 dan -222806.60) lebih tinggi dibanding dengan nilai
discretionary accruals tahun 1999 (t+1) dan 2000 (t+2) (-310024.20 dan
-331029.60). Penurunan nilai discretionary accruals yang mencolok ini di tahun
1999 (t+1) dan 2000 (t+2) kemungkinan besar karena pengaruh krisis ekonomi yang
melanda Indonesia sejak tahun 1997. Tahun 1998 (t) mempunyai nilai
discretionary accruals paling rendah, yaitu -376456.40. Hal ini terjadi karena
kemungkinan besar pada tahun tersebut krisis ekonomi di Indonesia mencapai
puncaknya.
Selanjutnya discretionary accruals akan dipecah menjadi dua, yaitu
discretionary current accruals-akrual yang dihitung dari aktiva lancar-dan
discretionary long-term accruals-akrual yang dihitung dari aktiva tetap.
Pemecahan ini untuk mengidentifikasikan apakah rekayasa keuangan yang dilakukan
terhadap aktiva lancar ataukah aktiva tetap. Hasil pemecahan ditunjukkan di
Tabel 3.
TABEL 3
DCA dan DLTA Selama Periode Pengamatan
t-2 t-1 t t+1 t+2
Discretionary Cuurent Accruals (DCA)
Mean -0.0560 -0.0210 -0.0260 -0.0130 0.0106
Median 0.0000 -0.0210 -0.0110 -0.0510 0.0384
Discretionary Long-term Accruals (DLTA)
Mean -25009.92 -222806.60 -376456.40 -310024.20 -331029.60
Median -11836.00 -63629.00 -414736.00 -144192.50 -166891.00
Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Tabel 3 menunjukkan nilai DLTA untuk semua periode pengamatan selalu lebih
besar daripada nilai DCA. Hal ini mengindikasikan manajemen cenderung memilih
menggunakan item yang aktiva tetap (dan aktiva jangka panjang) untuk melakukan
rekayasanya. Selanjutnya uji beda (t-test) akan dilakukan terhadap nilai
discretionary accruals sebelum dan sesudah penerapan prinsip good corporate
governance pada tahun 1998. Nilai discreationary accruals sebelum penerapan
merupakan rata-rata discretionary accruals t-2 dan t-1 (1996 dan 1997).
Sedangkan nilai discretionary accruals sesudah penerapan merupakan rata-rata
discretionary accruals t+1 dan t+2 (1999 dan 2000). Hasil pengujian ditunjukkan
pada Tabel 4.
TABEL 4
Uji Beda Sebelum dan Sesudah Penerapan GCG
p-value t-value
Sebelum-sesudah 0.291 -1.081
Sumber: data sekunder diolah, 2002.
Keterangan : * : Signifikan pada level 0.05 (2 sisi)
** : Signifikan pada level 0.10 (2 sisi)
Hasil pengujian terhadap discretionary accruals menunjukkan discretionary
accruals sebelum dan sesudah penerapan prinsip good corporate governance tidak
berbeda secara signifikan. Nilai p-value 0.291 dan t-value -1.081
mengindikasikan tidak ada perbedaan yang signifikan antara rekayasa kinerja
yang dilakukan manajemen sebelum dan sesudah kewajiban penerapan prinsip GCG.
5. PENDAPAT
Pendapat saya sebagai pembaca
dari jurnal ilmiah tentang Good Corporate Governance adalah :
Pada penelitian ini
penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG) secara signifikan akan
mengurangi upaya rekayasa keuangan yang dilakukan manajemen.
Penelitian ini tidak
berhasil membuktikan dugaan tersebut, karena dari hasil uji beda terbukti tidak
adanya perbedaan tingkat rekayasa antara sebelum dan sesudah kewajiban
penerapan prinsip tersebut, sehingga GCG belum berhasil diterapkan di
Indonesia.
Sumber :
ejournal.unesa.ac.id/article/4072/57/article.pdf